Jumat, 10 Desember 2010

Mutiara Hikmah dari Pengungsi Merapi

Oleh : Embun Khatulistiwa

Bencana di negeri ini datang silih berganti seolah sengaja dipergilirkan untuk mengingatkan umat manusia bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi. Sekarang tak ada bedanya antara si kaya dan si miskin. Si kaya bukanlah siapa-siapa yang dapat memamerkan kekayaan dan kekuasaannya. Kekayaan bukanlah senjata untuk menawar takdir kepayahan agar tak mendekat.

Sebuah cerita hikmah dari barak pengungsian Maguwo Harjo. Ketika seorang ibu tua menceritakan apa yang dialaminya kepada saya dengan binar ketegaran yang berusaha dimunculkannya dalam raut bahagia..

Sebelum musibah Merapi melanda pemukiman tempat ia tinggal, keharmonisan keluarga adalah suatu hal yang jarang ia rasakan di hari-hari tuanya. Meski anaknya yang sudah berkeluarga masih tinggal bersama dalam satu rumah, tapi kebersamaan dan kehangatan layaknya keluarga tak ia rasakan. Hari-hari yang ia lalui adalah hari-hari hambar yang berjalan hanya untuk menunggu berakhirnya jatah waktu yang Tuhan berikan padaya. Hanya si keci,l cucunya yang masih berusia batita yang manemani kejenuhannya. Sementara itu, ayah dan ibu si kecil sibuk bekerja di tempat yang berbeda dan tak ada waktu untuk sekedar bermain dan meninabobokannya. Semua kerja keras dilakukan demi materi yang mereka yakini dapat memberikan kesejahteraan dalam hidup.

Waktu berjalan, pundi-pundipun makin penuh terisi hingga akhirnya pasangan suami istri itu memutuskan untuk membangun rumah sendiri tidak jauh dari rumah tempat dimana ibunya tinggal. Tepat di hari raya Idul Fitri 1431H lalu rumah tersebut selesai dibangun dengan sempurna, lengkap dengan ‘furniture’ rumah tangga yang serba baru. Tapi keberadaan rumah baru itu tidak merubah pola hidup mereka. Masing-masing masih sibuk dengan dunianya sendiri, mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk jaminan hidup layak.

Hingga akhirnya peristiwa letusan Merapi kedua yang di luar dugaan itu tiba. Mereka yang sebelumnya masuk dalam kawasan zona aman justru harus ikut dievakuasi pada tengah malam saat dimana raga-raga masih terlelap. Suasana sangat darurat, tak ada waktu lagi untuk sekedar mengemasi barang-barang berharga karena keselamatan nyawa lebih utama.

Tidak lebih dari 20 menit, kampung mereka yang sebenarnya tidak begitu dekat dengan bantaran sungai ikut merasakan terjangan awan panas yang seketika membumi hanguskan rumah dan harta benda termasuk puluhan unggas dan ternak-ternak yang tak sempat terselamatkan. Innalillahi wa inna Ilaihi Raji’un…

Saat ini,mereka harus menjadi bagian dari pengungsi di barak pengungsian Maguwo Harjo. Subhanallah, begitu besar hikmah yang DIA berikan dibalik setiap kejadian, ditengah musibah ini si ibu tua menemukan apa yang selama ini ia cari. Kehangatan keluarga dalam kebersamaan. Meski dalam keterbatasan, namun tak ada lagi sekat pembatas. Keluarga yang tadinya jarang dipertemukan meski tinggal satu atap karena kesibukan masing-masing dan jarang pula bersilaturrahmi dengan tetangga sekampung, kini menyadari betapa menjaga hubungan keluarga itu lebih dari segalanya dan hidup saling berdampingan itu adalah anugrah terindah. Tanpa sekat tembok tebal, tanpa beda si kaya dan si miskin, senasib sepenanggungan dan bersama-sama saling menyemangati untuk bangkit dari musibah.

Jika tak saling peduli saat lapang, maka DIA berikan kesempatan untuk peduli diwaktu sempit. Begitu banyak hikmah yang terserak dari setiap ujian yang DIA berikan, semoga kita menjadi bagian dari orang yang beruntung yang dapat memungutnya sebagai pelajaran agar lebih bijak dalam memaknai hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar