Rabu, 20 Oktober 2010

Menjadi Matahari Bagi Semesta

Oleh : Teita Futsufeita

Kami adalah mahasiswa program profesi, dan dia, seorang kondektur bis. Kecelakaan membuatnya harus kehilangan ¾ bagian tangan kanannya. Malam itu di pangkalan, dia tidak menyadari ketika bis itu mundur. Tangannya berada diantara bis dan pagar besi. Terjepit dan hancur sehingga harus diamputasi, Kurang lebih begitulah kesimpulan yang saya peroleh dari cerita bapak itu.

Lukanya merah, darah. Walau terdapat jahitan di sisi-sisinya, kami masih bisa melihat bagian dalam yang tertutup kulit dari lengan itu. Daging bagian dalam bahkan tulang dan pembuluh darah itu nampak. Kami harus memberinya obat pengurang nyeri yang disuntikan disisi-sisi lukanya untuk mengurangi rasa sakit ketika luka itu kami bersihkan. Walau begitu, dia masih harus menggigit bantal ataupun kain saat luka dibersihkan. Keringat mengucur memenuhi kening, tangan, dan badannya yang kokoh, dengan nafasnya yang memburu.

Selalu begitu, tak bisa hanya tangan kami yang bekerja dalam keheningan atau kami membisu tanpa kata, apapun. Dan dengan seperti itu, kami dapatkan cerita kehidupannya.

Sebenarnya dia bukan pasien utama kami, sehingga kami tak memiliki waktu banyak untuk berinteraksi dengannya. Namun kami tak bisa mengabaikan dan membiarkannya berlalu, tanpa menyapanya.

“Assalamu’ailakum, Pak! Kadang hanya seperti itu ketika pagi baru tiba di ruangan.

“Gimana sekarang, sudah lebih oke, Pak?” atau begitu saat kami hanya melewatinya dengan wajah yang cerah tentunya

“ Obat dulu ya Pak!”

“ Gimana, sudah siap tempur lagi?” Begitu saat hendak kami bersihkan lukanya. Yang tak jarang bapak ini tersenyum getir sambil mengumpulkan kekuatan untuk bertempur melawan nyeri.

“Hayo…, sudah makan belum nih…?” saat kami melewatinya untuk istirahat.

Ah, waktu memang cepat berlalu. Tidak terasa, sudah 3 hari berinteraksi dengannya dengan interaksi-interaksi singkat. Ketika hari terakhir di ruangan itu, bertiga, kami coba mencari bapak tersebut untuk berpamitan, namun tidak kami temukan di ruangannya. Ya sudah, kami hanya pamit kepada istrinya. Namun, ketika kami keluar dari pintu ruangan,

“Adik-adik, sebentar!”

Ternyata bapak itu. Ia berada diantara banyak orang yang duduk dan berdiri di halaman ruangan.
Kami hampiri, dan berbincang sejenak. Memberikan sedikit “bekal” untuk proses penyembuhannya.

“ Terimakasih, adik-adik sudah memperlakukan saya dengan sangat baik, walau kami ini hanya ‘orang kecil’…” begitu katanya disela-sela perbincangan kami

Saya sedikit mengerutkan kening, “orang kecil?” Dalam pandangan kami tak ada ‘kecil’ atau ‘besar’.

“Adik-adik tahu, sapaan dan sikap ramah adik-adik, perhatian yang mungkin bagi adik-adik adalah hal kecil tapi tidak bagi kami. Bagi kami, itu sangat berarti. Kami merasa dipandang, diperhatikan, dan semua itu membantu kami yang harus berjuang melawan penyakit kami. Jika adik-adik tetap bersikap seperti itu, saya percaya, adik-adik akan menjadi ‘orang yang besar’.”

Seketika hati kami melambung sambil tersipu.

“Ya Allah, sebegitukah pengaruhnya?” (kata yang hanya mampu didengar hati saja). Padahal kami tak memberikan apa-apa. Hanya merawat lukanya, ‘Memberikan telinga’ walau singkat. Pamit ketika pulang. Sapaan ringan dengan wajah yang cerah. Perhatian-perhatian kecil yang kami anggap adalah hal yang biasa bagi kami. Ah, Senyuman secerah mentari kami ternyata memberi kesan yang dalam baginya walau dalam singkat.

Kami tahu, kami meninggalkan ruangan itu dengan membawa senyum tidak hanya di wajah kami, tapi juga di hati kami. Kami terharu juga bahagia, kawan. Bukan karena pujiannya, namun kami tidak menyangka saja bahwa keberadaan kami yang tidak seberapa itu ternyata memberikan sebuah makna baginya.

Memang tidak mudah untuk tersenyum saat hati ingin menangis. Tetap cerah walau sebenarnya awan mendung menyelimuti diri. Tapi bapak, kata-katanya adalah pengingat bagi kami. Tak boleh ada awan mendung yang menutupi kami saat berhadapan dengan semesta, setidaknya dengan mereka.

Semoga keberadaan kita mampu memberikan makna berarti bagi diri juga semesta, walau bagaimanapun ‘cuacanya’. Seperti kata Bunda Helvy Tiana Rosa :"kalau harimu lagi nggak cerah, tetap saja cerahkan hari orang lain dengan keberadaanmu dan sapamu niscaya harimu akan lebih bermakna.” Ya. Bagai mentari yang senantiasa tulus menyapa hari-hari kita dengan sinar terangnya. Membagikan cahayanya dengan adil pada semua makhluk. Yang keberadaannya mampu memberi kehangatan bagi siapapun yang ia temui. Matahari yang mencerahkan hari-hari semesta.

Semangat berbagi dan tetaplah cerah, sahabat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar