Selasa, 19 Oktober 2010

Mutiara Kemurahan Hati di KRL

” Jalur delapan, kereta Jurusan Bogor - Jakarta Kota siap diberangkatkan pukul 0.7.35, Jalur tujuh kereta jurusan Jakarta Kota – Bogor di stasiun Cilebut.”

Pengumuman petugas Stasiun KRL Jabodetabek (Kereta Rangkaian Listrik Jakarta Bogor Depok Tangerang dan Bekasi) membahana menyebarkan pemberitahuan rutin tanpa jenuh. Penumpang mulai berjejal memasuki kotak besi dengan tempat duduk berhadapan disisi kanan dan kirinya. Tak ada kekacauan yang menghebohkan, tak terlihat rebutan yang membuat panik, tak ditemui keributan karena antrian, semua berjalan begitu saja. Hambar rasa dan makna.

Penumpang KRL mewakili struktur sosial masyarakat kota yang serba terburu, terukur waktunya dengan materi dan sarana mengantar nasib menuju peruntungannya. Di dalam kotak besi mengular ini, sebagian masyarakat Jabodetabek sangat tergantung padanya. Biaya yang murah, jalur yang bebas macet, akses mudah menuju pusat mencari nafkah, pasar menggiurkan pedagang kecil dan pengantar tak ingkar waktu bagi mahasiswa.

Di dalam KRL pula, keprihatinan negeri ini terwakili. Pelecehan seksual, judi terselubung, aksi bebas pencopet, penumpang gelap dan pengemis yang menipu. Anak-anak balita menjadi tumbal orang tuanya sebagai pemancing uang receh ke dalam kantong plastik kecil. Penyandang cacat yang dengan manjanya menyeret tubuhnya yang tinggal setengah badan dan yang buta dengan lihai menelusup himpitan penumpang dengan kantong plastik berjejal uang receh. Anak-anak jalanan menjadi bebal dengan apa pun lalu merusak aturan keselamatan dengan naik ke atap kereta tempat kabel bertegangan 2500 volt terbentang telanjang.

Kereta mulai merengsek pelan dari Bogor. Enam orang penumpang, sepasang suami istri dan empat anak kecil. Sang ayah menggendong anak berusia kurang dua tahun, Sang ibu sibuk mengatur posisi tiga anak lainnya. Mereka harus berdiri karena kalah cepat dengan penumpang ”tetap”. Stasiun Cilebut, pemberhentian pertama KRL dari Bogor, penumpang makin berjubel. Stasiun berikutnya, Bojong gede. Kotak besi berwarna perak ini tak kuasa lagi menampung manusia di dalamnya. Beberapa tubuh mulai menyeruak di pintu dan sebagian naik ke atap. Sementara sang ayah, ibu dan empat anak ini mulai terhimpit. Sang balita mulai merengek, tiga anak lain mulai letih berdiri dan kepanasan

Spontan, suasana ini menyentak penumpang lain. Seorang kakek melepas tempat duduknya buat sang Ibu dan seorang anaknya. Tak lama berselang suasana agak gaduh.

”Hei, kamu berdiri, ini ada anak bayi, kasih dong duduk.” Seorang pria berwajah sangar berempati pada sang ayah yang berkeringat sambil menenangkan rengekan anak balitanya yang kepanasan.

Pria yang duduk dengan muka seram masih enggan, karena dia tertidur saat dibangunkan orang-orang. Akhirnya pria itu beranjak, mengakhiri mimpinya di tempat duduk. 

”Minggir pak, Bapak ini mau duduk.” Beberapa orang meminta orang memberi jalan buat sang Ayah dan baita. Dua anak kecil lainnya mengikuti dan duduk berdesakan beserta ayahnya disamping penumpang lain yang duduk, semuanya wanita dan anak-anak.

Akhirnya keluarga muda itu bisa menikmati perjalanannya dengan sedikit nyaman. Tak senyaman kursi mobil pejabat memang, tapi hatinya nyaman karena orang-orang masih berempati pada yang lemah. Hatinya juga tenang karena di KRL, norma bahwa yang lemah harus dibantu dan yang kuat harus mengalah dijaga keberlangsungannya.
Hatinya terharu sebab orang-orang ’kecil’ yang diangap sangar, kasar, angker menjadi penjaga norma di KRL. Merekalah yang mau mengalah untuk yang lemah. Merekalah yang mau mengingatkan yang tidak pantas duduk untuk mengalah. Merekalah yang sangat sensitif dengan anak balita kepanasan, ibu hamil yang keletihan dan orang tua yang kepayahan. Ada kemurahan hati di antara egoisme dan perlombaan mengejar materi. Ada pengorbanan kecil yang bermakna luas dan berumur panjang. Ada perasaan malu berbuat tidak pantas.

Stasiun pasar Minggu menghentikan laju KRL. Sang Ayah lalu memegang tangan pria sangar yang memberikan tempat duduknya.

”Terima kasih, Pak.” Sang ayah melempar senyum yang sangat bermakna pada pria itu. KRL terus melaju mengangkut manusia menuju cita-citanya.

Dengan segala cap buruknya, KRL masih menyimpan mutiara. Mutiara itu bersinar di kegelapan perilaku manusia kota yang egois dan materialistik. Mutiara itu menampilkan keindahannya dikubangan pelanggar norma. Mutiara itu akan senantiasa ditemukan untuk menentramkan kaum lemah. Mutiara itu pelajaran hidup bagi orang-orang kalangan atas yang tak mampu menjaga moralitas dan integritasnya. Mutiara itu bernama kemurahan hati.

Sahabat, kadang tampilan fisik menipu kita. Orang dengan penampilan garang dan apa adanya dianggap tak patuh norma dan sedikit bermoral. Sementara, kalangan terpelajar dan berstatus sosial tinggi diagggap sebagai pengusung dan penjaga moral. Kemurahan hati lahir dari keinginan kuat untuk memberi kebahagiaan pada orang lain. Orang yang murah hati akan memberikan dirinya dan mengorbankan keinginan sendiri. Kemurahan hati tak harus ditunjukkan dengan sedekah jutaan rupiah, pentas amal yang gemerlap dan donasi yang terpampang. Kemurahan hati bisa bermula dari hal-hal kecil berbentuk senyuman, kata-kata baik atau sekedar mempersilahkan duduk pada orang yang membutuhkannya.(siddikthoha)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar